Dalam masalah ini ada beberapa hal yang harus kita pahami:

1. Kondisi zaman.

Pada masa lalu di berbagai negara dan kebudayaan, bila terjadi peperangan maka pasukan yang menang akan memperkosa kaum wanita dari negara yang kalah. Pemerkosaan itu bisa terjadi secara massal dimana satu wanita bisa diperkosa beberapa lelaki sekaligus, setelah itu ada yang dibawa sebagai budak yang dapat diperlakukan apa saja oleh pemiliknya, dan ada yang ditinggalkan dengan harta benda yang sudah tak tersisa akibat dijarah. Kaum wanita yang ditinggalkan biasanya menjadi terlantar karena suaminya sudah terbunuh dan harta pun tidak ada, mereka pun dapat ditangkap oleh para pedagang budak yang akhirnya menjerumuskan mereka juga dalam perbudakan.

Islam melarang menyakiti kaum wanita dalam peperangan. Walaupun dalam rangka membalas perlakuan kejam yang dilakukan kaum kafir, namun wanita musyrik yang menjadi tawanan perang pasukan Islam tidak boleh disakiti apa pun bentuknya. Kaum laki-laki banyak terbunuh dalam peperangan, sehingga perempuan yang ikut perang dan tertangkap, tidak lagi memiliki keluarga yang dapat menebus dirinya. Jika perempuan itu dilepaskan begitu saja, mereka menjadi terlantar dan dapat membahayakan dirinya sendiri. Karena itulah akhirnya mereka diambil oleh pasukan muslim untuk dimiliki secara individu dan bukan berramai-ramai.

Ketika mereka sudah menjadi budak dari seorang muslim, maka budak dan majikannya tersebut akan diatur oleh berbagai peraturan seperti yang telah disebutkan di atas. Salah satu hal yang juga sudah diatur oleh Islam ialah masalah menggauli budak perempuan.

2. Mencegah laki-laki muslim yang tidak memiliki biaya untuk menikahi wanita muslim yang merdeka, agar tidak menikahi wanita-wanita musyrik.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa budak perempuan dalam Islam lebih mulia derajatnya daripada wanita merdeka yang musyrik. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (Al Baqoroh: 221). Karena itulah pembolehan menggauli budak perempuan merupakan rukhsoh (keringanan) bagi laki-laki muslim yang hendak menikah namun tidak memiliki biaya untuk menikahi wanita muslim yang merdeka. Laki-laki muslim dibolehkan menggauli budak perempuan miliknya agar tidak berzina dengan wanita-wanita musyrik.

Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, maka boleh menikahi wanita beriman dari budak-budak yang kamu miliki.”(An Nisa: 25).

“… maka nikahilah wanita-wanita yang kamu pandang baik: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa: 3).

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Al-Mu’minun: 5-6).


3. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai proses nikah sebelum menggauli budak perempuan.

Sebagian kalangan memandang wajib menikahi budak perempuan sebelum menggaulinya. Mereka berargumen demikian berdasarkan zhahir teks dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 221, surat An Nisaa (4) ayat 25, serta surat An-Nuur (24) ayat 32.


4. Terdapat berbagai syarat untuk menggauli budak perempuan.

“… sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan budak yang kamu miliki dari apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, …” (Al Ahzab: 50).

Ayat ini menjadi landasan kalangan yang memandang tidak wajib melakukan proses nikah untuk menggauli budak perempuan, namun mereka juga menetapkan berbagai syarat untuk menggauli budak perempuan.

a.) Budak yang boleh digauli tuannya adalah budak yang suaminya sudah tidak ada (mati, hilang atau terpisah dalam perang).

Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa suami istri yang tertawan tidak boleh dipisahkan akibat majikannya hendak menggauli budak yang perempuan.

“Barangsiapa yang merusak hubungan budaknya dengan keluarganya bukanlah dia dari golongan kami, dan barangsiapa yang merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya maka dia juga bukan termasuk golongan kami.” (HR. Al-Baihaqi).

Sehingga pemilik budak tidak boleh menggauli budak perempuan yang suaminya menjadi budak bersama dia, dan pemilik budak pun tidak boleh memisahkan suami istri budak tersebut karena ingin menggauli budak perempuannya.

b.) Perempuan tawanan perang yang menjadi budak, baru boleh digauli setelah dilakukan istibrash.

Istibrash adalah menunggu kosongnya rahim dengan tidak disentuh selama satu kali haid bila budak perempuan itu tidak sedang hamil. Bila budak perempuan itu sedang hamil, maka istibrash-nya sampai ia melahirkan kandungannya.

Rasulullah saw bersabda: “Tidak boleh digauli (budak) yang sedang hamil, sampai ia melahirkan. Dan (tidak boleh digauli) yang tidak hamil, sampai dia beristibra’ dengan satu kali haid.” (Lihat Mukhtashar Ma’alimis Sunan, Bab Nikah, dan dishahihkan oleh Al Hakim sesuai syarat Muslim).

c.) Bila majikannya menggauli budak itu, dan budak itu kemudian hamil lalu melahirkan, maka anaknya adalah anak yang merdeka dan statusnya sama dengan anak majikannya dari istri yang merdeka. (Tafsir Al-Azhar. Juz 4. Prof. DR. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.).

Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah (memerintah tahun 198-217 H / 813-833 M) adalah anak Ummul Walad hasil hubungan Khalifah Harun Al Rasyid dengan salah seorang budak perempuannya.

d.) Yang boleh disetubuhi adalah budak perempuan milik sendiri dan bukan milik orang lain, majikannya pun tidak boleh menyuruh budak perempuannya untuk menggauli orang lain. Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.” (An Nuur: 33).

e.) Jika seorang laki-laki merdeka hendak menggauli budak perempuan yang bukan miliknya, maka ia harus menikahi dulu budak perempuan tersebut.

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita merdeka lagi beriman, maka boleh menikahi wanita beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain (orang merdeka dan budak yang dikawininya adalah sama-sama keturunan Adam dan sama-sama beriman), karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan menikah, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan menikahi budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An Nisa: 25).

Belanja harian untuk budak lebih murah daripada untuk perempuan merdeka. Kalau budak itu bukan miliknya maka harus izin pada majikannya. Budak perempuan tersebut pun wajib diberikan mahar dan nafkah secukupnya. Menikahi budak tersebut juga bukan sekedar untuk berzina, sehingga tidak boleh langsung dicerai atau ditinggalkan setelah dikawini. Budak ini pun tidak boleh digauli oleh majikannya walaupun budak itu tetap bekerja pada majikannya, statusnya adalah istri dari suaminya yang merdeka. Hal ini juga akan mendorong sang suami untuk mencicil kemerdekaan istrinya tersebut.

5. Menggauli budak perempuan adalah sarana untuk pemerdekaan budak.

Salah satu hikmah dari diperbolehkannya menggauli budak wanita dalam Islam adalah sebagai salah satu cara menghilangkan perbudakan itu sendiri. Status anak yang lahir dari hasil hubungan budak wanita dengan majikannya adalah anak yang merdeka, sebagai anak kandung dari ayahnya yang muslim, yang berhak menyandang nama bapaknya, menerima nafkah, pendidikan, serta warisan jika ayahnya meninggal. Budak wanita tersebut pun berubah statusnya menjadi Ummul Walad yang dilarang untuk dijual atau diberikan pada orang lain. Ummul Walad pun otomatis merdeka begitu majikannya mati.

Dari Ibnu Abbas, telah bersabda Rosululloh saw: “Tiap-tiap Ummul Walad, maka merdekalah ia setelah majikannya mati.” (HR Ibnu Majah dan Hakim).

Nabi Muhammad saw memiliki dua budak perempuan yang ia perlakukan seperti istri, yaitu Mariah al Qibthiyah (Maria orang Kristen Koptik) dan Raihana (tawanan perang dari Yahudi Bani Quraiza).

Raihana adalah tawanan perang dari Yahudi Bani Quraiza yang menjadi bagian Nabi Muhammad. Bani Quraiza adalah kabilah Yahudi yang tinggal di Madinah dan terikat perjanjian damai dengan umat Islam.

Perang Bani Quraizha berawal saat orang-orang Yahudi (Huyayy bin Akhtab, Sallam bin Abi’l-Huqaiq, dan beberapa orang Bani Wa’il Hawadha) pergi menemui Quraisy dan suku Ghatafan (terdiri dari kabilah ‘Abs, ‘Ailan, Fazara, Murra, Asyja’, Sulaim, Banu Sa’d dan Asad) untuk berkoalisi menyerang Madinah. Gabungan kekuatan ini (yang disebut Ahzab) kurang lebih berjumlah 10.000 orang dibawah pimpinan Abu Sufyan. Umat Islam memakai strategi Perang Parit (Khandak). Saat itulah Bani Quraiza tiba-tiba menyerang dari belakang. Nabi Muhammad mengutus Sa’d bin Mu’adh (pemimpin Aus), Sa’d bin ‘Ubada (pemimpin Khazraj), serta Abdullah bin Rawahah dan Khawat bin Jubair untuk mengajak berdamai. Namun Bani Quraiza menolak dan bahkan mulai memasuki rumah-rumah di Madinah yang terdekat dengan mereka. Alloh swt menyelamatkan umat Islam dengan mendatangkan angin dingin yang memaksa Pasukan Ahzab kembali ke kotanya. Pasukan Islam kemudian menuju benteng Bani Quraizha untuk membalas pengkhianatan mereka. Terjadi bentrokan dengan saling melempar panah dan batu. Pasukan Islam mengepungnya selama 25 malam.

Dalam keadaan terdesak, pemimpin Yahudi Bani Quraiza (Ka’b bin Asad) menyarankan kaumnya supaya menjadi orang Islam agar jiwa dan harta-bendanya aman. Tetapi saran itu ditolak. Kemudian disarankannya lagi supaya wanita dan anak-anak mereka dibunuh, dan mereka melawan Muhammad dengan pedang terhunus sampai mati. Tetapi saran itu juga ditolak. Akhirnya Ka’b bin Asad menyerah dan menyerahkan segala keputusan kepada Nabi Muhammad. Namun orang-orang Yahudi Bani Quraiza meminta agar keputusan terhadap mereka ditentukan oleh Sa’d bin Mu’adh (suku Aus adalah sekutu Bani Quraiza). Meskipun sahabat lama Bani Quraiza, namun Sa’d tahu bahwa kalau pihak Ahzab yang menang karena pengkhianatan Banu Quraiza itu, kaum Muslimin pasti akan dihabisi, dan Bani Quraiza akan menjalankan Hukum Perang Yahudi yaitu membunuh semua lelaki dan memperbudak semua wanita dan anak. Sa’d kemudian memutuskan, bahwa mereka yang ikut melakukan kejahatan perang dijatuhi hukuman mati, harta-benda dibagi, wanita dan anak-anaknya ditawan. Orang Yahudi yang pernah berjasa terhadap kaum Muslimin (seperti keluarga Zubair bin Bata), serta orang Yahudi yang masuk Islam, tidak terkena hukuman ini.

Sebagai tawanan, Raihana ditawarkan untuk masuk Islam. Tetapi ia menolak, dan tetap bertahan dalam agama Yahudinya. Juga ditawarkan kepadanya untuk dinikahi. Tetapi dia menjawab: “Biarlah saya dibawah tuan. Ini akan lebih ringan buat saya, juga buat tuan.” Buku-buku sejarah dalam hal ini berbeda-beda pendapat, apakah Raihana juga menggunakan tabir seperti isteri-isteri Nabi yang lain, atau masih seperti wanita-wanita Arab umumnya pada waktu itu, yang tidak menggunakan tutup muka. Sampai pada waktu Raihana wafat di tempat Nabi, ia tetap sebagai milik Nabi dan tidak pernah dijual atau dihadiahkan. (Sejarah Hidup Muhammad. Bab XVIII. Oleh: Muhammad Husain Haekal).

Penguasa Mesir, Muqauqis, memberi hadiah dua jariah (budak perempuan) bersaudara (Mariah al Qibthiyah dan Sireen) kepada Rosul. Kemudian Rosul Saw mengambil Mariah al Qibthiyah, sedangkan Sireen beliau hadiahkan kepada Hassaan bin Tsaabit. Nabi saw memperoleh putra dari Mariah yang diberi nama Ibrahim, namun Ibrahim wafat dalam usia enam belas atau delapan belas bulan. Nabi saw memberikan Mariah rumah pribadi di dataran tinggi yang sejuk di pinggiran kota Madinah, daerah itu sekarang dinamakan Masyrabat Ummi Ibrahim. Saat Nabi wafat, Mariah telah menjadi orang merdeka. [Tarjamah Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Asqolani. Muqaddimah dari A. Hassan, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002.].

Para sahabat memperlakukan Mariah dan Raihana seperti terhadap istri-istri Nabi yang lain. Mereka kerap disebut sebagai zawjun Nabiy.

SUMBER : STUDI ISLAM