Debat Kata “Allah”

stop-kristenisasi

Pada awal Januari tahun lalu, banyak kalangan di Malaysia dan Indonesia dibuat terkejut saat Sultan Negeri Selangor, Shafaruddin Idris Shah, mengeluarkan dekrit yang menegaskan, bahwa kata Allah merupakan kata suci khusus umat muslim dan tidak boleh digunakan oleh agama selain islam.

Dekrit Sultan Selangor itu mengangkat kembali kontroversi penggunaan kata Allah di Malaysia yang sudah muncul sejak awal 1980-an dan kemudia merebak tahun 2007. Kasus ini bermula saat pihak Katolik menolak larangan penggunaan kata Allah oleh pemerintah Malaysia. Mereka membawa masalah ini ke pengadilan. Pada 21 Desember 2009, Mahkamah Tinggi Kuala Lumpur membenarkan penggunaan kata “Allah”, sebagai pengganti kata Tuhan oleh media Katholik Herald-The Catholic Weekly. Akan tetapi,  pemerintah Malaysia berkeberatan dengan keputusan tersebut dan mengajukan banding ke peradilan yang lebih tinggi.

Media Katholik Herald edisi bahasa Inggris memang tidak menggunakan kata Allah. Tapi kata Allah mereka gunakan untuk edisi bahasa Melayu. Karena itulah, kaum Muslim di Malaysia melihat ini salah satu indikasi jelas bahwa ada tujuan “misi Kristen” dibalik penggunaan kata Allah tersebut. Tapi, Kaum Katholik di Malaysia berkeberatan dengan larangan pemerintah atas penggunaan kata “Allah” di media mereka. Logika yang sering dimunculkan: mengapa di Arab dan Indonesia boleh, tetapi di Malaysia tidak boleh? Menurut I.J. Satyabudi dalam bukunya kontroversi nama Allah, pelarangan penggunaan kata ‘Allah’ oleh non-Muslim di Malaysia sudah bermula pada awal 1980-an. Ketika itu, umat Muslim melakukan kampanye pelarangan bagi umat Kristen untuk menggunakan nama ‘Allah’ sebagai sebutan bagi Pribadi Dia Yang Maha Tinggi. Umat Muslim yakin, ‘Allah’ adalah Nama Diri, dan bukan sekedar untuk Tuhan yang bermakna “Tuhan itu” (al-ilah). Kaum Kristen harusnya tidak menyebut “Allahku” tetapi “ilahku”. Tahun 1982, pemerintah federal Malaysia dan beberapa Negara bagian secara resmi mengeluarkan larangan penggunakan kata Allah sebagai Tuhan oleh non-Muslim.

Lafadz Allah di Indonesia

Beda dengan Malaysia, di Indonesia, gugatan terhadap penggunaan kata ‘Allah’ oleh kaum Kristen justru datang dari kalangan Kristen sendiri. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen bernama “Iman Taqwa Kepada Shiratal Mustaqim” yang menyerukan penghentian penggunaan kata ‘Allah’ oleh kaum Kristen. Setelah mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH) kelompok ini menerbitkan Bibel sendiri dengan nama “Kitab Suci Torat dan Injil”. Belakangan, terbit juga Bibel tanpa kata Allah, bernama “Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru-Indonesia Literal Translation (ILT), terbitan Yayasan Lentera Bangsa, Jakarta 2008.

Bibel versi BYH mengganti kata “Allah” menjadi “Eloim”, kata “TUHAN” diganti menjadi “YAHWE”; kata “Yesus” diganti dengan “Yesua”, dan “Yesus Kristus” diubah menjadi “Yesua Hamasiah”. Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya “Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh” yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama “Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini”. Kelompok ini pun menegaskan, “Akhirnya nama “Allah” tidak dapat dipertahankan lagi”.

Menurut I.J. Satyabudi, kampanye kelompok BYH ini terlihat cukup berhasil menimbulkan keresahan warga Gereja, dan bahkan berhasil mempengaruhi sebagian umat Kristen untuk meninggalkan sebutan ‘Allah’ dalam Gereja dan menghilangkan sebutan ‘Allah’ dalam tek lagu-lagu rohani. Bahkan ada sebuah Gereja di Jakarta yang bernaung di bawah GBI (Gereja Bethel Indonesia) yang melakukan pengusiran Roh Allah yang dianggap sebagai Roh Setan di dalam nama Tuhan Yesus Kristus (Satyabudi, Kontroversi Nama Allah, hal 6).

Satyabudi memaparkan keresahan yang terjadi di kalangan umat Kristen di Indonesia: “Selanjutnya wacana penggantian nama Allah menjadi Eloim ini menjadi isu laporan berita panas di hampir semua tabloid dan majalah Kristen. Umat Kristen terpecah dan kebingungan untuk memilih dan berpihak pada nama Allah ataukah Eloim. Ada beberapa denominasi Gereja Protestan yang dengan bangga telah memproklamirkan bahwa Gerejanya tidak lagi menggunakan nama Allah, tetapi nama Eloim! Bahkan terjadi pendirian-pendirian Gereja-gereja Protestan baru yang terbentuk oleh sekelompok sempalan Umat Kristen penyembah khusus nama Eloim ini.”

Bermaksud meredam kontroversi, Lembaga Alkitab Indonesia (LAI)—sebagai lembaga resmi penerjemah Bibel edisi bahasa Indonesia – membuat edaran. Isinya, kaum Kristen di wilayah Nusantara sudah menggunakan kata ‘Allah’ sejak terbitan pertama Injil Matius dalam bahasa Melayu (terjemahan Albert Cornelis Ruyl, 1692).

Meskipun LAI sudah mengeluarkan edaran resmi, para penggugat nama Allah dalam Kristen masih muncul. Tahun 2009, terbit lagi buku berjudul “Allah dalam Kekristenan Apakah Salah”, karya Rev. Yakub Sulistyo, S.Th., M.A., (2009). Buku ini menyerukan: “Kamus Theologia Kristen sendiri sudah sangat jelas menulis bahwa: Allah itu berasal dari Arab yang artinya Keberadaan Tertinggi dalam agama Islam, jadi kalau Anda sebagai orang Kristen atau Katholik (Nasrani) yang baik, Anda seharusnya menghormati iman orang lain (umat Islam), dengan tidak mencampur-adukkan dengan iman Nasrani, sehingga menjadi Sinkretisme.

Akar Masalah

Mengapa Kaum Kristen di wilayah Melayu-Indonesia menggunakan kata ‘Allah’ untuk menyebut nama Tuhan mereka? Padahal, Kristen yang datang ke wilayah ini berasal dari Kristen Barat, yang tidak mengenal kata ‘Allah’? Alasannya, seperti disebut Samin Sitohang dalam buku “Siapakah Nama Sang Pencipta? Menjawab Kontroversi Sekitar Pemakaian Nama Allah dalam Alkitab”, adalah pertimbangan misiologis.

“Jadi jika Alkitab bahasa Indonesia menggunakan Allah untuk nama Sang Pencipta, itu berarti Roh Allah sedang menyiapkan umat-Nya yang berasal dari golongan lain untuk menerima Injil karena mereka tidak perlu harus membuang Allah untuk mendapatkan nama Sang Pencipta yang baru.”

Kontroversi nama Tuhan dalam Kristen berakar dari ketiadaan konsep nama Tuhan yang baku dalam Kristen. Di barat, Tuhan Kristen disebut ‘God’ atau ‘Lord’. Di Bali kaum Hindu memprotes penggunaan nama Tuhan oleh kaum Kristen yang dimiripkan dengan sebutan Tuhan dalam agama Hindu, seperti “Sang Hyang Yesus”, “Sang Hyang Allah Aji”, “Ratu Biang Maria”, dan sebagainya (Majalah Media Hindu, edisi November 2011). Di Arab, sebelum Islam, kata ‘Allah’ sudah digunakan dengan makna Tuhan versi Kristen dan Tuhan yang punya sekutu (syirik).

Problem ketiadaan konsep baku dalam nama Tuhan Kristen itu berakar dari tradisi Yudaisme yang tidak menyebut nama Tuhan. Oxford Concise Dictionary of World Religions menulis, “Yahweh: The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH’, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy.” Lihat, John Bowker (ed), The Concise Oxford Dictionary of World Religions, (Oxford University Press, 2000).

Karena itulah, menurut  Pdt. Parhusip kaum Kristen boleh menyebut nama Tuhan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hati mereka. Ia menulis dalam buku kecilnya: “Lalu mungkin ada yang bertanya: Siapakah Pencipta itu dan bagaimanakah kalau kita mau memanggil Pencipta itu? Jawabnya: Terserah pada Anda! Mau panggil: Pencipta! Boleh! Mau panggil: Dewata! Boleh! Mau panggil: Allah! Boleh! Mau panggil: Elohim atau Theos atau Goda tau Lowalangi atau Tetemanis…! Silakan! Mau memanggil Sang Pencipta yang menciptakan langit dan bumi… Ya, silakan menyebut dan memanggil Sang Pencipta itu menurut apa yang ditaruh oleh Pencipta itu di dalam hati Anda, di dalam hati kita masing-masing. “

Jadi apakah kaum Kristen di wilayah Nusantara sebaiknya masih menggunakan kata Allah? Patut direnungkan, bahwa kaum Muslim telah resmi menjadikan Allah sebagai nama Tuhan – bukan sekedar sebutan – sejak Al Qur’an melakukan Islamisasi konsep ‘Allah’ versi kaum musyrik Quraisy dan versi kaum Kristen Arab pra-Islam. Beda dengan kaum Kristen – yang boleh menyebut Tuhan dengan nama apa saja – bagi Muslim, ‘Allah’ adalah nama Tuhan Yang Maha Esa, dan menjadi kata terpenting dalam Islam. Karena itulah kaum Muslim lazimnya tidak menerjemahkan syahadat Islam menjadi :  “Saya bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Tuhan itu“ sebagaimana ditulis dalam ensiklopedi Nurcholis Madjid.

Sementara itu, sebagaimana di negara-negara Barat, Bali, dan daerah lainnya, kaum Kristen seoutar penggunaan kata “Allah“ di wilayah Nusantara, patut dicatat, bahwa di Melayu-Indonesia, sebelum datangnya Kristen, kata ‘Allah’ hanya punya satu makna : Tuhannya orang Islam, yang tidak punya sekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Barulah pada tahun 1692 (data versi LAI), kaum kristen menggunakan kata Allah untuk tujuan misi (kristenisasi).

Karena itu, terlepas dari kontroversi kasus pelarangan penggunaan kata ‘Allah’ di Malaysia, menurut saya tidak ada salahnya jika masalah penggunaan kata Allah oleh kaum Kristen di Indonesia didiskusikan kembali. Wallahu A’lam bish-shawab !

Penulis : DR. Adian Husaini, MA

Kontributor : Arief

PENTING

[Jika anda termasuk orang yang peduli terhadap agama Islam, maka, IKUTILAH LANGKAH INI SAUDARAKU]