QS. AN-NISÂ’ [4]: 89


وَدُّواْ لَوۡ تَكۡفُرُونَ كَمَا كَفَرُواْ فَتَكُونُونَ سَوَآءً۬‌ۖ فَلَا تَتَّخِذُواْ مِنۡہُمۡ أَوۡلِيَآءَ حَتَّىٰ يُہَاجِرُواْ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ‌ۚ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَخُذُوهُمۡ وَٱقۡتُلُوهُمۡ حَيۡثُ وَجَدتُّمُوهُمۡ‌ۖ وَلَا تَتَّخِذُواْ مِنۡہُمۡ وَلِيًّ۬ا وَلَا نَصِيرًا (٨٩

Mereka ingin seandainya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan siapa pun di antara mereka sebagai orang-orang dekat, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka teman-teman dekat dan jangan (pula) penolong.

Ayat ini dibacakan dan ditayangkan teksnya dengan terjemahan sebagai berikut:

They but wish that ye should reject faith. As they do, and thus be on the same footing as they. So take no friends from their ranks until they flee in the way of Allah. But if they turn renegades, seize them and kill them whenever ye find them. And take no friends or helpers from their ranks.

Ini disertai dengan aneka komentar yang direkam dari sejumlah tokoh/mubalig Muslim yang menegaskan tentang keunggulan agama Islam, yang selanjutnya dijadikan dalih oleh film Fitna untuk menggambarkan bahwa alQur’an memerintahkan membunuh semua non-Muslim, kapan dan di mana pun.

Sekali lagi pemahaman tersebut sangat jauh dari hakikat ajaran al-Qur’an. Untuk memahaminya secara benar, ayat itu harus dikaitkan dengan konteks ayat-ayat sebelumnya.

Ayat-ayat sebelum ini menjelaskan sifat orang-orang munafik, yang seharusnya telah disadari oleh orang-orang beriman sehingga tidak wajar lagi, ada yang menjadi perantara untuk membela mereka yang salah, atau menghalangi upaya menindak siapa yang melanggar. Karena itu, pada ayat 87 kaum Mukmin yang berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi kaum munafik itu dikecam oleh Allah dengan firman-Nya yang bagaikan menyatakan: Kalau demikian itu keadaannya, maka mengapa kamu wahai orang-orang Mukmin terbagi menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, ada di antara kamu yang bersangka baik dan membela mereka dan ada juga yang mengambil sikap keras, yakni bermaksud memerangi mereka. Mengapa masih terjadi perbedaan pendapat ini padahal Allah telah membiarkan mereka kembali kepada kekafiran, yakni menilai mereka telah masuk kembali ke dalam lingkungan kufur dan meninggalkan keimanan disebabkan usaha mereka sendiri. Apakah kamu berkehendak memberi petunjuk yakni menilai mereka sebagai orang-orang yang memperoleh petunjuk Allah atau menciptakan petunjuk ke dalam hati orang-orang yang telah dibiarkan sesat oleh Allah—dibiarkan sesat atas keinginan dan upaya mereka sendiri untuk sesat? Barangsiapa yang dibiarkan sesat oleh Allah, maka sekali-kali engkau wahai Muhammad tidak mendapatkan jalan untuknya guna mendapat petunjuk.

Ayat ini turun berkenaan dengan sejumlah orang yang bertempat tinggal di Mekkah, mereka berpura-pura menampakkan minat atau menyatakan diri memeluk Islam, padahal selama ini mereka membantu kaum musyrik Mekkah. Mereka meninggalkan Mekkah menuju Madinah untuk satu keperluan. Mereka mengharap dengan kedatangan ke Madinah dan berpura-pura menampakkan minat memeluk Islam, mereka akan disambut baik oleh umat Islam. Nah, ketika itulah orang-orang Mukmin berbeda pendapat seperti terbaca di atas. Setelah penjelasan di atas barulah ayat 89 menegaskan:

“Mereka ingin seandainya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, sehingga kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan siapa pun di antara mereka sebagai orang-orang dekat, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu dapati mereka, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka teman-teman dekat dan jangan (pula) penolong.”

Sekali lagi mereka yang dimaksud oleh ayat ini adalah musuh-musuh Islam, yang memerangi kaum Muslim, tetapi bermuka dua, bukan semua orang kafir. Mereka adalah musuh dalam selimut. Karena itu ayat di atas memberi petunjuk: Jangan jadikan salah seorang pun di antara mereka sebagai orangorang dekat, yakni teman-teman akrab tempat menyimpan rahasia, kecuali jika mereka berhijrah, yakni meninggalkan kekufuran dan kota kekufuran, yakni Mekkah ketika itu. Petunjuk ayat ini bukannya menyatakan: “Yang tidak bersama kamu adalah musuh kamu” sebagaimana pandangan sementara Pemerintahan selama ini, tetapi yang dinyatakannya adalah: “Jangan menjadikan lawan kamu sebagai sahabat kental tempat menyimpan rahasia.” Sungguh tuntunan ini sangat logis sehingga dapat diterima dengan sangat baik oleh siapa pun yang berakal dan memiliki moral.

Selanjutnya, ayat di atas menegaskan bahwa kalau mereka besikeras dalam sikap mereka—kufur dan menjadi musuh dalam selimut—maka mereka wajar diperangi dan dalam keadaan perang, musuh dapat ditawan dan dibunuh—bila perlu—kapan dan di mana saja.

Ini berarti jika bukan dalam keadaan perang dan orang-orang munafik masih tetap bebas berkeliaran, maka sekali lagi ayat di atas memperingatkan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka sebagai temanteman dekat dan jangan pula menjadikan salah seorang di antara mereka penolong untuk diri kamu atau untuk menghadapi musuh kamu. Ini karena mereka adalah musuh dalam selimut.

Penafsiran di atas didukung oleh sekian banyak ayat bahkan kenyataan sejarah pada masa kekuasaan dan kejayaan kaum Muslim.

Bacalah misalnya firman Allah dalam QS. al-Mumta hanah [60]: 8-9:

لَّا يَنۡهَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَـٰتِلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ (٨) إِنَّمَا يَنۡہَٮٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمۡ فِى ٱلدِّينِ وَأَخۡرَجُوڪُم مِّن دِيَـٰرِكُمۡ وَظَـٰهَرُواْ عَلَىٰٓ إِخۡرَاجِكُمۡ أَن تَوَلَّوۡهُمۡ‌ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ (٩

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil

Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai teman akrab, maka mereka itulah orangorang yang zalim.”

Ayat-ayat di atas dengan tegas bagaikan menyatakan bahwa: Allah tiada melarang kamu menjalin hubungan dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dalam bentuk apa pun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu berlaku adil kepada mereka. Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu berada di pihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan yang benar itu walaupun non-Muslim. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah tidak lain hanya melarang kamu menjadikan sebagai temanteman akrab tempat menyimpan rahasia dan penolong-penolong yang kamu andalkan orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negeri kamu serta membantu (orang lain) untuk mengusir kamu. Barang siapa yang mengikuti tuntunan ini, maka mereka itu orang-orang yang menegakkan keadilan dan beruntung dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai teman akrab, maka mereka itulah orangorang yang zalim.

Sementara ulama, seperti Abubakar Ibnu Arabi (w. 1148 M) memahami perintah aqsithû bukan dalam arti berlaku adil, tetapi dalam arti memberi sebagian dari harta kamu dengan alasan kewajiban berlaku adil juga tertuju kepada musuh yang memerangi. Dengan demikian, ayat ini tidak berbicara tentang keadilan, tetapi yang melebihi keadilan yakni berbuat ihsan dalam bentuk memberi sebagaian dari harta yang dimiliki. Memang, dalam pandangan Islam

“Manusia yang engkau hadapi dua macam, saudara seagama dan sesama makhluk,” begitu pesan Sayyidina Ali kw. kepada Gubernur Mesir pada masa beliau.

Sayyid Quthub, pemikir Muslim Mesir yang dikenal dengan pikiran-pikirannya yang tegas dan revolusioner yang berakibat beliau terbunuh, berkomentar ketika menafsirkan ayat di atas bahwa:

“Islam adalah agama damai, serta akidah cinta. Ia adalah satu sistem yang bertujuan menaungi seluruh alam dengan naungannya yang berupa kedamaian dan cinta itu. Semua manusia dihimpun-Nya di bawah panji Ilahi dalam kedudukan sebagai saudara-saudara yang saling kenal mengenal dan cinta mencintai. Tidak ada yang menghalangi arah tersebut kecuali tindakan agresi musuh-musuhNya dan musuh-musuh penganut agama ini. Adapun jika mereka itu bersikap damai, maka Islam sama sekali tidak berminat untuk melakukan permusuhan dan tidak juga berusaha melakukannya. Bahkan walaupun dalam keadaan bermusuhan, Islam tetap memelihara dalam jiwa faktor-faktor keharmonisan hubungan, yakni kejujuran tingkah laku dan perlakuan yang adil, menanti datangnya waktu di mana lawan-lawannya dapat menerima kebajikan yang ditawarkannya sehingga mereka begabung di bawah panjipanjinya. Islam sama sekali tidak berputus asa menanti hari di mana hati manusia akan menjadi jernih dan mengarah ke arah yang lurus itu.

”Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.

Sekali lagi, ayat di atas bukan berarti melarang kaum Mukmin menjalin hubungan dengan non-Muslim, apalagi memerintahkan untuk membunuh mereka kapan dan di mana saja. Ia hanya melarang menjalin hubungan akrab, itu pun bukan dengan semua nonMuslim, tetapi hanya dengan orang-orang yang telah terang-terangan memusuhi Islam, kendati mereka mengaku sebagai orang-orang Muslim. Demikian, wa Allâh a‘lam.[]