QS. AL-ANFÂL [8]: 39

وَقَـٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ۬ وَيَڪُونَ ٱلدِّينُ ڪُلُّهُ ۥ لِلَّهِ‌ۚ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ۬ (٣٩

Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya kepatuhan semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan

Ayat QS. al-Anfâl [8]: 39 ini pun dipenggal sehingga yang ditayangkan, dibacakan, dan diterjemahkan hanya firman-Nya:

وَقَـٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٌ۬ وَيَڪُونَ ٱلدِّينُ ڪُلُّهُ ۥ لِلَّهِ‌ۚ

Terjemahannya sebagai berikut: “Fight them until there is dissension and the religion is entirely Allah’s.”

Itu disusul dengan menayangkan pidato beberapa tokoh dan mubalig, yang pada intinya menggambarkan keunggulan Islam dan kewajiban berdakwah serta optimisme mereka tentang penyebaran Islam ke seluruh dunia.

Hal pertama yang perlu digarisbawahi adalah penerjemahan kata ad-dîn dengan agama karena ini dapat menimbulkan kesan bahwa agama yang dimaksud adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Memang benar, salah satu maknanya adalah agama, tetapi tidak semua kata ad-dîn berarti agama. Firman-Nya “Mâlik yaum addîn” tidak diterjemjahkan dengan “Pemilik hari agama”, tetapi “Pemilik hari pembalasan”. Makna kata Dîn yang lain adalah ketaatan dan kepatuhan yang disertai dengan respek dan inilah yang dimaksud oleh ayat tersebut, sebagaimana akan diuraikan nanti. Karena itu, dalam beberapa terjemahan bahasa Inggris, kata tersebut diterjemahkan dengan “worship” yakni kepatuhan yang disertai dengan rasa respek dan kagum.

Sejarah Nabi saw. membuktikan bahwa tiga belas tahun lamanya beliau dan sahabatsahabat beliau bersabar menahan diri untuk tidak membalas kekejaman kaum musyrik. Lalu tahap demi tahap beliau lalui sampai akhirnya tiba izin untuk membalas, itu pun dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Memang, Islam adalah agama yang berpijak di bumi menghadapi kenyataan

Selama dalam hidup ini ada orang-orang yang memiliki hawa nafsu, ambisi yang meluap, maka selama itu pula konflik dapat muncul, dan ini menuntut adanya petunjuk berkaitan dengan konflik itu, termasuk di antaranya perintah berperang. Peperangan memang tidak menyenangkan, bahkan bisa jadi buruk, tetapi jika ia dilakukan dalam rangka membela diri dan membela kebenaran, serta mengelakkan penganiayaan, maka ketika itu peperangan adalah sesuatu yang menghasilkan kebaikan dan terpaksa harus ditempuh. Islam tidak mengajarkan “siapa yang menampar pipi kananmu, maka serahkanlah pipi kirimu untuk ditampar juga.”

Sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an membuktikan bahwa silih berganti dan beraneka ragam tuntunan al-Qur’an menghadapi gangguan. Dimulai dengan perintah bersabar seperti firman-Nya:

“Maka bersabarlah seperti halnya orang-orang yang memunyai keteguhan hati dari rasulrasul dan janganlah engkau meminta disegerakan (siksa) bagi mereka” (QS. al-Ahqâf [46]: 35).

Disusul dengan anjuran untuk menghada-pi gangguan dengan berbuat baik, sesuai firmanNya:

“Tolaklah perbuatan buruk dengan sesuatu yang terbaik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan” (QS. al-Mu’minûn [23]: 96)

Bersamaan dengan itu beliau diperintah:

“Katakanlah kepada orang-orang yang beriman hendaklah mereka memaafkan orang-orang yang tidak takut akan hari-hari Allah” (QS. al-Jâtsiyah [45]: 14).

Kali selanjutnya, beliau diperintahkan berjihad memperjuangkan ajaran agama dengan kalimat-kalimat al-Qur’an, bukan dengan senjata.

“Maka janganlah mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al Qur’an dengan jihad yang besar” (QS. al-Furqân [25]: 52).

Semua petunjuk itu diamalkan oleh Nabi saw. bersama pengikut-pengikut beliau, tetapi penganiayaan tidak berkurang, bahkan justru bertambah. Upaya menangkap dan membunuh Nabi saw. mereka lakukan sebagaimana dilukiskan oleh QS. al-Anfâl [8]: 30. Nah, beberapa waktu setelah upaya itu, yakni setelah Nabi saw. berhasil berhijrah ke Madinah, barulah turun izin untuk membalas dengan firman-Nya:

“Telah diizinkan (berperang) orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu” (QS. al-Hajj [22]: 39).

Peperangan dibenarkan oleh al-Qur’an bila tidak ada lagi jalan lain untuk menghindarkan penganiayaan dan memantapkan keamanan. Itu pun sebelum terjun secara langsung, musuh masih diberi alternatif bergabung dengan kaum Muslim, atau menjalin perjanjian tidak saling menyerang (damai). Kalau kedua alternatif itu ditolak, maka terpaksa senjata yang berbicara, tetapi ketika itu semua yang tidak terlibat harus dipelihara. Anak-anak dan perempuan harus dilindungi, pepohonan jangan ditebang, lingkungan jangan dirusak.

Kembali kepada film Fitna, ayat yang dibacakan dan diterjemahan secara keliru di atas lengkapnya adalah:

“Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya kepatuhan seluruhnya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan” (QS. al-Anfâl [8]: 39).

Sejalan dengan pesan QS. al-Anfâl [8] yang dipelintir oleh film Fitna itu adalah QS. alBaqarah [2] ayat 190 hingga 193 berikut:

“Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Lebih lanjut ayat 191-192 menyatakan:

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekkah); dan fitnah (penganiayaan) lebih keras/kejam

daripada pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Maka jika mereka berhenti (menganiaya kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Nah, setelah itu disusul oleh ayat 193 yang serupa dengan ayat al-Anfâl yang dipelintir itu. Lengkapnya adalah:

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) kepatuhan hanya semata-mata (terhadap) Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”

Kalau ayat 190 berbicara tentang kapan peperangan diizinkan untuk dimulai oleh kaum Muslim, maka ayat 193 menjelaskan kapan peperangan harus mereka hentikan serta konsekuensi yang dipikul oleh yang enggan menghentikannya. Ia dapat dimulai saat ada musuh yang menyerang. Mereka itulah yang diperangi sedang peperangan harus dihentikan bukan saat agama Islam tersebar ke seluruh dunia, sebagaimana yang hendak dikesankan oleh film Fitna, tetapi ia harus dihentikan saat penganiayaan berakhir, karena tujuan peperangan adalah menghentikan penganiayaan.

Sekali lagi, ia bukannya baru dihentikan setelah Islam menguasai seluruh dunia, karena bukan itu tujuan perang, apalagi Islam melarang penyebaran agama melalui perang, dan dengan demikian yang dimaksud dengan “ketaatan/kepatuhan hanya semata-mata terhadap Allah” adalah bahwa ketentuan-ketentuan Allah harus ditaati, antara lain memberi kebebasan kepada siapa pun untuk memilih dan mengamalkan agama dan kepercayaannya karena masing-masing akan mempertanggungjawabkannya sesuai firmanNya “lakum dînukum wa liya dîn” (QS. alKâfirûn [109]: 6).

Selanjutnya, akhir ayat 193 itu menegaskan:

yang maksudnya adalah: apabila mereka (yang menganiaya dan memerangi itu) berhenti melakukan penganiayaannya, maka kaum Muslim harus segera menghentikan peperangan, sebab siapa yang melanjutkan peperangan setelah terhenti penganiayaan, maka dialah yang menganiaya dan dia wajar dilanda agresi dan permusuhan melalui apa atau siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Sedemikian penting penghentian peperangan, bahkan sedemikian besar keinginan al-Qur’an untuk terciptanya perdamaian sehingga Allah mengingatkan bahwa:

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Anfâl [8]: 61).

Demikian petunjuk-Nya, wa Allâh a‘lam.[]