Menghapus perbudakan secara bertahap

Ahmad Syalaby dalam bukunya ‘Islam dalam Timbangan’ (Bandung: Al Ma’arif, 1982) mengatakan bahwa metode penghapusan perbudakan secara bertahap dalam Islam memakai dua cara: yaitu mempersempit jalan masuk dan memperlebar jalan keluar.

1. Mempersempit jalan masuk.

Perbudakan di luar dan sebelum Islam dapat terjadi dengan berbagai cara, antara lain melalui perjudian, merampok kafilah dagang, penculikan, menangkap orang yang tersesat, orang yang tidak bisa membayar hutang, orang tua yang menjual anaknya demi uang dan makanan, dan lain sebagainya. Islam kemudian melarang semua pintu masuk perbudakan tersebut, hanya satu pintu masuk perbudakan yang dibolehkan, yaitu tawanan perang yang diperoleh dalam Jihad membela Islam melawan kaum kafir. Hal itu pun dengan syarat bahwa tawanan tidak masuk Islam selama masa tahanannya, dan juga atas persetujuan Imam (Khalifah). Menjadikan tawanan perang sebagai budak bukanlah suatu yang diwajibkan, Khalifah boleh melarang kebiasaan ini.

Sebelum dijadikan budak, tawanan perang memiliki tiga pilihan:

a.) Dibebaskan (misalnya karena masuk Islam, memberi informasi atau keahlian).

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas ra bahwa Nabi saw membebaskan orang-orang yang ditangkap sebagai tawanan. Mereka adalah orang-orang yang turun dari Gunung Tan’im pada waktu sholat Subuh untuk membunuh kaum muslimin dan berjumlah 80 orang. Karena itu turunlah ayat: “Dan Dialah yang mencegah tangan mereka dari (membinasakan) kamu dan (mencegah) tangan kamu dari (membinasakan) mereka di tengah (kota) Mekkah, setelah Alloh memenangkan kamu atas mereka. Dan Alloh Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al Fath: 24). Ayat ini menjadi landasan bahwa membebaskan tawanan dibolehkan walaupun hanya demi menunjukkan citra baik Islam di mata lawan. Hal ini pula yang dilakukan Sholahuddin Al Ayyubi saat Perang Hittin 1187 M dengan membebaskan pemimpin-pemimpin pasukan Salib yang tertangkap. Namun hal itu ternyata dimanfaatkan pasukan Salib untuk kembali menghimpun pasukan di kota Shuwar dan kembali menduduki kota Akka sebagai basis terakhir mereka di wilayah Palestina. Kota Akka baru dapat direbut kembali pada tahun 1291 M oleh sultan Saifuddin Qalawun dari dinasti Mameluk.

b.) Ditebus (dengan uang atau ditukar dengan tawanan muslim yang berada di pihak lawan).

Rosululloh saw menerima tebusan untuk dua orang sahabatnya dengan seorang musyrik dari Bani Aqil (HR Ahmad dan dishahihkan oleh Tirmidzi).

c.) Dibunuh (jika termasuk musuh besar Islam).

Imam (Khalifah) boleh memutuskan membunuh tawanan perang jika terdapat kemaslahatan dengan membunuhnya. Sebagaimana dilakukan Rosulullloh saw yang membunuh Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Mu’aith pada Perang Badar serta Abu Izah al-Jahmi pada peristiwa Uhud. Dalam hal ini Alloh swt berfirman:

“Tidaklah pantas, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi …” (Al Anfaal: 67).

Status tawanan perang hanya bersifat sementara sampai perang selesai, jika perang berakhir dan tawanan perang tersebut tidak mengalami tiga hal yang disebutkan di atas, maka Khalifah bisa membuat keputusan untuk menjadikannya budak ataupun dibebaskan begitu saja.

“Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang), maka pukullah leher mereka. Apabila kamu telah mengalahkan mereka, tawanlah mereka, dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan, sampai perang selesai …” (Muhammad: 4).

Tawanan perang dalam Islam bukanlah rakyat dari negeri yang berhasil dikalahkan, melainkan individu yang ikut bertempur. Rosululloh saw bersabda kepada penduduk Mekkah pada peristiwa Fathu Mekkah: “Pergilah kalian. Kalian adalah orang-orang yang telah bebas.” Suku-suku Arab biasa membawa anak dan istri mereka dalam peperangan, sehingga selalu terdapat regu perempuan bagian logistik di belakang pasukan perang. Ketika pasukan utamanya kalah, maka perempuan serta anak-anak yang ikut berperang tertangkap, sehingga ikut menjadi tawanan perang. Tawanan perang termasuk ghanimah dan terbagi dalam dua bagian, yaitu wanita dan anak kecil, serta laki-laki yang sudah baligh. [Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq. Jilid 4. Jakarta: Penerbit Pena, 2006.].

Jika dalam tawanan perang terdapat mahrom dari anggota pasukan Muslim, maka tawanan perang tersebut otomais bebas dan tidak dapat dijadikan budak. Dari Samurah bin Jundab, bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang memiliki keluarga yang mahrom, maka jadi merdekalah ia.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah). Maksudnya jika dalam suatu peperangan seseorang dapat bagian rampasan perang yang diantaranya ada seorang mahromnya (yang masih kafir), maka dengan sendirinya mahromnya itu merdeka (Tarjamah Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Asqolani. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002. hal. 653).

Islam menyeru agar menghormati dan berbuat baik kepada para tawanan, serta memuji orang yang berbuat baik kepada mereka. Alloh swt berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (sambil berkata) Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhoan Alloh, kami tidak mengharapkan balasan dan terima kasih darimu.” (Al Insan: 8-9).

Dari Abu Musa Al Asy’ari ra, Nabi saw pernah bersabda: “Lepaskanlah tawanan, berikan makanan pada orang-orang yang lapar, dan jenguklah orang yang sedang sakit.” (HR Bukhari).

Tsumaqah bin Atstsal tertangkap sebagai tawanan di tangan kaum muslimin. Maka mereka datang membawanya kepada Rosululloh saw dan kemudian Rosululloh bersabda: “Berbuat baiklah kepada tawanan. Kumpulkanlah apa yang kalian miliki berupa makanan, dan berikanlah padanya.” Mereka kemudian memberikan susu unta milik Nabi pada pagi dan sore hari. Nabi saw lalu mengajaknya masuk Islam, namun ia tidak menerima. Nabi saw akhirnya melepaskannya tanpa tebusan. Dan hal inilah yang menjadi sebab ia masuk Islam. (Fiqih Sunnah, Op. Cit.).

Disebutkan dalam kitab-kitab hadits shahih mengenai pembebasan tawanan perang Bani Musthaliq. Bani Mushtaliq membuat kesepakatan dalam perkampungan mereka di dekat Mekah untuk membunuh Nabi saw dengan dipimpin Al-Harits bin Abi Dzirar. Rahasia ini diperoleh Nabi saw dari seorang Badwi. Maka ia pun segera berangkat ke mata air Muraisi’, tidak jauh dari wilayah Bani Mushtaliq. Pasukan Bani Mushtaliq dikepung secara tiba-tiba, pihak-pihak yang tadinya datang hendak bergabung dengan Bani Mushtaliq, langsung melarikan diri. Sepuluh orang Bani Mushtaliq terbunuh. Al-Harits bin Abi Dzirar melarikan diri tetapi putrinya (Juwairiyah) tertangkap. Sebagai tawanan perang, Juwairiyah menjadi bagian salah seorang Anshar. Karena ingin menebus diri, maka Juwairiyah pergi menemui Nabi. “Saya Juwairiyah puteri al-Harith bin Abi Dzirar, pemimpin masyarakat,” ucapnya. “Saya sudah menjadi milik Tsabit bin Qais bin Syammas, maka saya mengajukan penawaran guna membebaskan diri. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu.” Nabi saw menyadari posisi Juwairiyah di kalangan Bani Musthaliq dan melihat adanya kesempatan menaklukan mereka tanpa harus berperang lagi. “Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?” tanya Nabi. “Apa?” tanya Juwairiyah. “Saya penuhi penawaranmu dan saya menikahi dirimu.” Juwairiyah kemudian menikah dengan Nabi saw. Orang-orang berkata: “Sekarang para tawanan itu telah menjadi kerabat Nabi.” Mereka pun membebaskannya tanpa tebusan. Aisyah berkata: “Aku tidak pernah mengetahui seorang wanita yang lebih berkah dari Juwairiyah. Ketika Rosululloh menikahinya, seratus tawanan dari Bani Musthaliq menjadi bebas.” Juwairiyah menjadi Ummul Mu’minin dan seluruh Bani Musthaliq memeluk Islam. (Sejarah Hidup Muhammad. Bab XIX. Oleh: Muhammad Husain Haekal).

Dalam Perang Khaibar, Nabi saw memperoleh bagian tawanan perang Shafiyah binti Huyai. Shafiyah binti Huyai (putri pemimpin Yahudi Bani Quraizha) adalah istri Kinana bin al-Rabi’ (pemimpin Yahudi Bani Nadhir), Kinana bin al-Rabi’ tewas dalam Perang Khaibar. Shafiyah menjadi bagian Nabi saw sehingga otomatis menjadi budak Nabi saw. Namun Nabi saw tidak ingin memperbudak Shafiyah, Nabi justru langsung memerdekakan dan sekaligus melamar Shafiyah menjadi istrinya. Meskipun berasal dari kaum Yahudi dan mantan tawanan perang, namun sikap Nabi terhadap Shafiyah tetaplah sama seperti terhadap istrinya yang lain. Suatu ketika Nabi saw mendapati Shafiyah menangis, setelah ditanya, Shafiyah mengatakan bahwa ia mendengar ada orang yang berkata bahwa Aisyah dan Hafshah menyindirnya bahwa mereka lebih utama sebab berasal dari Quraisy. Nabi saw lalu berkata, “Mengapa tidak engkau jawab: mengapa kalian lebih utama dariku, padahal aku keturunan Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku Muhammad.” (Tafsir Al-Azhar. Juz 4. Prof. DR. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. hal. 256).

2. Memperlebar jalan keluar.

Walau Islam telah melarang perbudakan yang terjadi di luar tawanan perang, namun saat Nabi saw menda’wahkan Islam di Jazirah Arab, perbudakan sudah sangat meluas dimana budak-budak tersebut tidak saja berasal dari tawanan perang melainkan juga berasal dari berbagai praktik penjerumusan manusia dalam perbudakan. Karena itulah Islam membuka pintu kemerdekaan seluas-luasnya baik kepada budak hasil tawanan perang maupun budak akibat berbagai praktik penjerumusan manusia dalam perbudakan jahiliyah. Antara lain:

a.) Menyerukan keutamaan manusia yang memerdekakan budak.

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) budak, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqoroh: 177).

Dari al-Barra bin Azib, dia berkata: Seseorang datang lalu bertanya, “Wahai Rosululloh, tunjukkanlah aku suatu perbuatan yang dapat mendekatkanku ke surga dan menjauhkanku dari neraka!” Maka Nabi saw bersabda: “Bebaskanlah raga dan lepaskanlah budak.” Kemudian orang itu berkata: “Wahai Rosululloh, bukankah kalimat itu menunjukkan satu perbuatan?” Beliau menjawab: “Tidak. Membebaskan raga berarti kamu memerdekakannya (budak). Melepaskan budak berarti kamu sendiri menentukan harga pembeliannya (dari penjual budak, untuk dimerdekakan).” (HR Ahmad). [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema Insani, 1999. hal. 623.].

Dari Abu Hurairoh ra, telah bersabda Rosululloh saw: “Seorang anak tidak bisa membalas bapaknya kecuali ia dapati bapaknya sebagai budak, lalu ia beli dan dimerdekakan.” (HR Muslim).

b.) Mengalokasikan dana zakat untuk membantu budak yang hendak memerdekakan diri.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 60).

Yahya bin Sa’id bin Qois Al Anshari menceritakan: “Saya dikirim oleh Umar bin Abdul Aziz untuk mengurus zakat di Afrika Utara. Maka saya pungutlah zakat itu, dan saya cari orang-orang miskin yang akan menerimanya. Tapi tak seorang miskin pun yang kami dapati, hingga tak adalah yang berhak menerimanya. Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz telah menyebabkan orang-orang menjadi kaya. Maka saya beli budak-budak dan saya merdekakan.” Setelah itu Yahya bin Sa’id diangkat menjadi Qadhi Andalusia (Spanyol) oleh Umar bin Abdul Aziz. (Tarikh oleh Khatib Al Baghdadi, Juz XIV; An Nujumuz Zahira oleh Ibnu Tagri Bardi, Juz I; Tarikhu Qudhaatil Andalus oleh Nabahi; dan Thobaqaatil ‘Ulamaa Afriqiyah oleh Abul ‘Arab).

c.) Menjadikan pemerdekaan budak sebagai sanksi bagi orang yang melakukan suatu perbuatan tercela.

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (tidak sengaja), (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (orang yang terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat). Barangsiapa yang tidak memperolehnya (budak yang beriman), maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari Allah.” (An Nisa: 92).

“Maka kafarat (melanggar) sumpah ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan pada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.” (Al Maidah: 89).

“Orang-orang yang men-zhihar (menganggap istri sebagai ibunya) istri mereka, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (wajiblah atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum keduanya bercampur … Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.” (Al Mujadilah: 3-4).

Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: “punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku,” atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa salah satu cara untuk menceraikan istrinya dengan menggunakan cara zhihar. Tetapi setelah Islam datang maka cara tersebut tidak berlaku, dan istri-istrinya tetap halal baginya, namun baru boleh dicampur kembali dengan membayar kaffarat (denda).

d.) Seorang budak boleh mencicil sejumlah uang untuk menebus dirinya sendiri, dan hal ini tidak boleh dihalangi oleh tuannya. Budak yang demikian dinamakan Mukatab.

“Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla: Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan dirinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya. Dan mujahid (pejuang) di jalan Allah.” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).

Dari Sahl bin Hunaif, bahwa Nabi saw bersabda: “Barangsiapa menolong mujahid di jalan Alloh atau orang yang berhutang di dalam kesusahannya atau mukatab (budak) pada menebus dirinya, niscaya Alloh naungi dia di Hari Qiamat, hari yang tak ada naungan selain naungan-Nya.” (HR Ahmad, dishahihkan oleh Hakim).

“Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu (demi mempercepat lunasnya perjanjian).” (An Nuur: 33).

Dengan ayat ini Ibnu Jarir mengatakan bahwa mukatabah (perjanjian kebebasan budak) hukumnya wajib. Jika ada seorang budak yang mengajukan pada majikannya perjanjian bahwa budak tersebut akan menebus dirinya sendiri dengan sejumlah uang pada suatu masa, maka majikannya wajib menyetujui perjanjian tersebut. [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 3. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema Insani, 2000. hal. 496.].

Ruh meriwayatkan dari Ibnu Juraij, Ibnu Juraij bertanya pada Atha: “Apakah aku harus memerdekakan budak jika aku melihat dia punya uang untuk menebus dirinya?” Atha menjawab: “Wajib.” Kemudian sampai berita kepada Ibnu Juraij bahwa Musa bin Anas menceritakan bahwa Sirin mengajukan perjanjian kebebasan kepada Anas. Sirin punya cukup uang untuk membebaskan dirinya. Namun Anas tidak mengabulkannya. Kemudian Sirin menemui Umar, maka Umar berkata: “Merdekakanlah Sirin.” Anas menolak maka Umar memukulnya, kemudian Umar membaca surat An Nuur ayat 33, maka Anas pun memerdekakan Sirin. (HR Bukhari).

Dari Yahya bin Abi Katsir, dia berkata: Sehubungan dengan surat An Nuur ayat 33, Nabi saw mengatakan: “Jika kamu mengetahui bahwa budak itu memiliki mata pencaharian maka janganlah kamu membiarkan mereka menjadi tanggungan orang lain (melainkan harus dibantu untuk dimerdekakan).” (HR Abu Dawud). Ibnu Abbas berkata: “Alloh menyuruh kaum mukmin agar membantu budak dalam memerdekakan diri dengan cara mengurangi nilai tebusan yang harus mereka bayar.” (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Op. Cit.).

e.) Para pemilik budak yang masih membutuhkan budaknya, dibolehkan tetap memiliki budaknya itu dengan anjuran agar memerdekakan mereka saat ia (pemilik budak) meninggal.

Budak yang demikian dinamakan Mudabbar, yaitu budak yang majikannya berkata: “Apabila aku mati maka engkau merdeka.” (Tarjamah Bulughul Maram, Ibnu Hajar Al Asqolani. Bandung: Penerbit Diponegoro, 2002.). Jika seorang majikan sudah berjanji untuk memerdekakan budaknya saat majikannya itu mati, maka budak (Mudabbar) itu adalah suatu wasiat, sehingga tidak boleh dijual, diwariskan, atau dihadiahkan. (Islam dalam Timbangan. Op. Cit. hal. 314).

f.) Budak perempuan yang telah dicampuri majikannya dan melahirkan anak dari majikannya itu (disebut Ummul Walad) dilarang dijual atau diberikan pada orang lain, sedangkan anaknya berstatus merdeka. Ummul Walad pun otomatis merdeka begitu majikannya mati.

Umar bin Khattab melarang menjual Ummul Walad dan menyatakan: “Darah mereka telah bercampur dengan darah kita.” (Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd, Juz II; dan I’lamul Muqi’in oleh Ibnul Qoyyim, Juz III).

Dari Ibnu Abbas, telah bersabda Rosululloh saw: “Tiap-tiap Ummul Walad, maka merdekalah ia setelah majikannya mati.” (HR Ibnu Majah dan Hakim).

g.) Nabi saw memberikan contoh dengan memerdekakan semua budaknya sebelum ia wafat.

Dari ‘Amr bin Al Harits (saudara Juwairiyah, salah seorang Ummul Mu’minin), ia berkata: “Rosululloh saw ketika wafat tidak meninggalkan satu dirham dan tidak dinar dan tidak budak laki-laki dan tidak budak perempuan dan tidak sesuatu kecuali bagalnya yang putih dan senjatanya dan sebidang tanah yang telah beliau waqafkan.” (HR Bukhari).

SUMBER : STUDI ISLAM