Perbudakan lahir dari penyimpangan yang terjadi pada umat terdahulu. Seiring dengan wafatnya para Nabi serta hilangnya suhuf dan kitab suci, maka kehidupan mereka semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang telah diajarkan sebelumnya. Pencurian, perjudian, riba, minuman keras, perzinahan, pembunuhan adalah jenis dosa yang selalu menjadi komoditas syetan bagi tiap umat yang sudah kehilangan agamanya. Salah satu primadona penyimpangan agama adalah perbudakan itu sendiri. Zaman Nabi Adam as belum ditemukan perbudakan. Namun pada umat-umat Nabi selanjutnya perbudakan mulai ditemui. Ada yang berpendapat bahwa umat Nabi Nuh telah mengenal sistem perbudakan (Salim Segaf Al-Jufri. http://www.syariahonline.com, April 2003). Para sejarawan Islam juga menyebutkan bahwa Nabi Nuh as memang berdiam di daerah Babilonia yang merupakan wilayah kebudayaan Mesopotamia,kebudayaan yang dianggap sebagai tempat lahirnya perbudakan.

Jazirah Arab termasuk negeri yang tertular fenomena perbudakan. Mereka mengenalnya dari hasil persinggungan dengan peradaban-peradaban maju di sekitarnya. Berhala-berhala yang ada di depan ka‘bah (berjumlah sekitar 360 buah) itu pun umumnya produk impor. Sepeninggal Nabi Ismail, bangsa Arab terpengaruh tradisi bangsa-bangsa pagan (penyembah berhala) yang menjadi tetangga mereka. Saat berdagang ke Syiria mereka tertarik oleh berhala-berhala besar dan indah yang disembah bangsa Moab. Sehingga kemudian sebuah berhala besar, bernama Hubal, dibawa ke Mekkah dan dipajang di Ka’bah. Begitu pula halnya dengan perbudakan, Nabi Muhammad saw lahir tatkala fenomena perbudakan sudah menggurita bukan saja pada bangsa Arab melainkan juga pada bangsa-bangsa yang lain.

“Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (Yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi makan pada hari kelaparan.” (Al Balad: 11-14).

Ayat ini sudah memperjelas sikap Islam terhadap perbudakan, yaitu Islam datang untuk memurnikan penghambaan manusia hanya kepada Alloh swt semata, sehingga penghambaan manusia terhadap manusia lainnya tidaklah dibenarkan. Karena itu Islam pun juga bertujuan untuk menghapus perbudakan.

Dari Abu Hurairoh ra, dari Nabi saw:

“Alloh berfirman: Ada tiga orang yang Aku akan menjadi lawan mereka pada Hari Kiamat kelak, yaitu orang yang memberi janji atas nama-Ku kemudian berkhianat, orang yang menjual orang merdeka dan memakan hasil penjualannya, serta orang yang memperkerjakan seorang pekerja yang pekerja itu telah mengerjakan pekerjaannya dengan baik tetapi orang tersebut tidak mau memberinya upah.” (HR Bukhari).

Syekh Musthofa Muhammad Imaroh dalam ‘Saripati Hadits Al-Bukhari’ (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2002), mengatakan bahwa hadits ini menunjukkkan salah satu bentuk kezhaliman yang nyata adalah menjerumuskan seseorang pada perbudakan. Barangsiapa menjerumuskan seseorang pada perbudakan, berarti ia telah mencegahnya dari berbuat apa-apa yang dihalalkan Alloh Azza wa Jalla. Tindakan tersebut merupakan dosa besar yang ditentang oleh Alloh swt.

Walaupun Islam datang untuk menghapuskan perbudakan, namun di masa Nabi saw hidup, praktik-praktik perbudakan masih tetap ada. Hal ini dikarenakan dua sebab, yaitu:

1. Prinsip perlakuan yang sama.

Sering terjadi peperangan dengan kaum non-Islam dimana orang Islam yang ditawan dijadikan budak. Berperang dengan sesama muslim tidak diperbolehkan, dan kalaupun terjadi maka tawanan perang muslim tidak boleh diperbudak. Karena itulah saat Ali dan Muawiyah berperang dalam Perang Shiffin, tawanan perangnya tidak diperbudak. Islam hanya membolehkan memperbudak tawanan perang dari orang kafir dimana orang kafir tersebut juga memperbudak tawanan perang muslim yang ada pada mereka.

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An Nahl: 126).

Sehingga pasukan Islam juga memperlakukan hal yang sama terhadap pasukan kafir yang ditawan. Hal ini selain untuk membuat gentar musuh, juga menjadi sarana untuk mengenalkan Islam kepada tawanan perang yang menjadi budak. Ketika tawanan perang yang menjadi budak itu berinteraksi dengan majikannya yang Islam sehingga memahami Islam dan masuk Islam, maka tawanan perang yang menjadi budak tersebut memperoleh kesempatan untuk merdeka.

Dari Abu Hurairoh ra, telah bersabda Rosululloh saw:

“Tiap-tiap seorang muslim memerdekakan seorang muslim, niscaya dengan tiap-tiap satu anggota (tubuh budak itu), Alloh merdekakan pula satu angggota (tubuh)-nya dari neraka.” (Muttafaqun ‘Alaihi: Bukhari-Muslim).

Dari Ka’ab bin Murrah:

“Dan tiap-tiap seorang perempuan muslim merdekakan seorang perempuan muslim, niscaya hal itu menjadi pelepasnya di neraka.” (HR Abu Dawud).

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairoh ra bahwa Nabi saw bersabda:

“Barangsiapa yang membebaskan budak yang beriman, maka Alloh akan membebaskan untuk setiap anggota tubuhnya. Sehingga dia dapat membebaskan tangannya dari api neraka dengan membebaskan tangan budak dari perbudakan, kaki dengan kaki, farji dengan farji.” Ali bin Husain kemudian berkata: “Apakah kamu mendengar hadits ini dari Abu Hurairoh?” Sa’id menjawab: “Benar.” Lalu berkatalah Ali bin Husain kepada salah seorang putranya: “Panggillah Mithraf.” Ketika Mithraf berdiri dihadapannya, maka ia berkata: “Pergilah karena engkau telah merdeka karena Alloh.” (Hadits ini diriwayatkan pula oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i dari Sa’id bin Marjanah) Pada matan Muslim dikatakan bahwa budak muslim yang dibebaskan Ali bin Husain diberi pula uang 10.000 dirham. (Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema Insani, 2000. hal. 985).

Dari Hilal bin Abi Maimunah, dari Atha bin Yasar, dari Muawiyah bin al-Hakam dikatakan, suatu ketika seorang Anshar datang membawa budak perempuan, maka Rosullulloh berkata kepada budak itu: “Dimanakah Alloh?” Dia menjawab: “Di langit.” Nabi bertanya: “Siapa saya?” Dia menjawab: “Rosul Alloh.” Maka Nabi bersabda: “Merdekakanlah ia, karena ia seorang mukminah.” (HR Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i, Ahmad, serta Al Muwaththa dari Imam Malik).

Hadits ini juga menegaskan Surat Thoha (20) ayat 5 bahwa Alloh swt berada di atas Arasy, sebagai salah satu sifat Alloh yang wajib kita imani. Surat tersebut tidak bertentangan dengan Surat Qaaf (50) ayat 16 yang menyebutkan bahwa Alloh dan malaikat lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya, karena ayat ini menunjukkan Kemahatahuan Alloh, Alloh tidak dekat secara Zat melainkan karena Alloh Maha Melihat dan Maha Mendengar, maka Alloh dapat mengetahui isi hati manusia seolah lebih dekat pada manusia itu daripada urat lehernya sendiri. Karena itu ucapan ‘Alloh ada di mana-mana’ merupakan ucapan batil yang berasal dari salah satu doktrin Wihdatul Wujud. Dengan ucapan tersebut, kalangan tasawuf falsafi (seperti Al-Hallaj, Ibnu Arabi, dan Suhrawardi) membela penyembah berhala karena berargumen sesungguhnya para penyembah berhala itu juga menyembah Alloh karena Alloh berada di mana-mana sehingga Alloh pun berada di dalam berhala yang disembah. Dengan ucapan itu pula Al Hallaj mengatakan ‘Ana Al Haq’ (sayalah Tuhan) karena beralasan Alloh ada di mana-mana sehingga Alloh pun berada di dalam dirinya, Na’udzu billah.

2. Perbudakan merupakan sistem sosial yang kokoh yang telah ada ribuan tahun dan merata di seluruh bangsa. Karena itu Islam menghapusnya secara bertahap, sebagaimana Islam mengharamkan Khamar.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairoh, dia berkata: Khamar diharamkan sebanyak tiga kali. Nabi saw tiba di Madinah sedang penduduknya masih meminum khamar dan memakan hasil perjudian. Kemudian mereka menanyakan kedua perbuatan tersebut kepada Rosululloh. Maka Alloh swt menurunkan ayat: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar (segala minuman yang memabukkan) dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” (Al Baqarah: 219). Kemudian orang-orang berkata “Keduanya tidak diharamkan kepada kita. Dia hanya berfirman keduanya mengandung dosa besar dan manfaat bagi manusia.” Mereka pun tetap meminum khamar hingga suatu hari seorang muhajirin mengimami teman-temannya sholat maghrib. Dia melakukan kesalahan dalam bacaannya sehingga Alloh swt menurunkan ayat yang lebih keras dari sebelumnya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan” (An Nisaa’: 43).

Orang-orang pun mulai membatasi minum khamar dengan melakukannya di luar waktu sholat, sampai akhirnya Alloh menurunkan ayat:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (Al Maa’idah: 90-91).

Akhirnya orang-orang pun berkata:“Ya Alloh, sekarang kami menghentikannya.” Kemudian ada beberapa orang yang bertanya: “Wahai Rosululloh, ada sejumlah manusia yang berperang dijalan Alloh, mereka mati dalam kehidupan yang berlebih-lebihan, mereka pun meminum khamar dan memakan hasil perjudian padahal Alloh telah menjadikannya sebagai perbuatan keji dan merupakan perbuatan setan.” Lalu Alloh Ta’ala menurunkan ayat:

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al Maa’idah: 93).

Kemudian Nabi saw bersabda:

“Seandainya dahulu hal itu diharamkan kepada mereka, niscaya mereka meninggalkannya sebagaimana kamu meninggalkannya sekarang.” [Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2. Muhammad Nasib Ar Rifa’i. Jakarta: Gema Insani, 1999. hal. 147-148].

Bagi seorang Abu Bakar yang mengerti tatanan hukum yang berlaku, menolong seorang budak (seperti saat dia memerdekakan Bilal) adalah membeli atau menebusnya dengan harta yang mahal. Tetapi tidak semua umat Islam saat itu punya keluasan harta seperti Abu Bakar. Ditambah lagi jumlah budak saat itu sangatlah banyak. Harga budak cukup mahal. Seorang tuan yang memiliki 100 budak, akan jatuh miskin bila tiba-tiba perbudakan dihapuskan. Padahal dia mendapatkan budak itu dari membeli dan mengeluarkan uang yang cukup besar serta menabung bertahun-tahun. Sedangkan dia membeli budak tersebut karena dia berada di zaman di mana perbudakan telah menjadi sistem sosial yang kokoh dan sangat dibutuhkan terutama untuk pertanian. Karena itulah Islam dengan bijak menghapuskan perbudakan secara perlahan-lahan.

SUMBER : STUDI ISLAM